Tema : Kearifan Lokal
Judul : Legenda Candi Pari
LEGENDA CANDI PARI
Dahulu kala, seorang lelaki tua tinggal di Gunung Penanggungan. Namanya adalah Kiai Gede Penanggungan. Dia dikenal sebagai orang yang sakti dan memiliki kekuatan gaib.
Kiai Gede Penanggungan juga memiliki seorang putri yang cantik. Namanya adalah Dewi Walangangin. Meski sangat cantik, dia belum menikah. Itu sebabnya Kiai Gede Penanggungan berdoa siang dan malam untuk putrinya. Akhirnya, Tuhan menjawab doanya. Seorang pria muda tampan datang ke tempatnya.
“Namaku Jaka Pandelegan. Aku datang ke sini karena aku ingin menjadi muridmu. Aku ingin belajar banyak hal darimu,” kata pemuda itu.
“Aku akan mengangkatmu sebagai muridku tetapi kamu harus menikahi putriku. Setuju?” jawab Kiai Gede.
Kiai Gede Penanggungan mengajarinya banyak hal. Setelah beberapa tahun tinggal bersama Kiai Gede Penanggungan, kini saatnya pasangan meninggalkan Gunung Penanggungan dan menemukan kehidupan baru sebagai suami-istri.
Kemudian, di tempat baru, mereka menanam benih. Segera, tumbuh banyak pohon padi yang mengasilkan beras yang sangat banyak.
“Aku tahu kalian tidak bisa tinggal bersamaku selama-lamanya. Sebelum kalian pergi, ambil benih padi (pari) ini. Setiap kali orang meminta kepada Anda, berikan beberapa. Jangan sombong jika kami sudah menjadi orang kamu kaya.” Pesan Kiai Gede kepada Anak dan Menantunya.Jaka Pandelegan dan Dewi Walangangin pun berjanji akan mentaati pesan dari ayah mereka.
Setelah itu, pasangan itu meninggalkannya dan membawa biji pari. (Pari berarti beras)
Sekarang pasangan itu menjadi sangat kaya. Tetangga miskin datang kepada pasangan itu untuk meminta benih pari.
“Tidak boleh! Jika kamu ingin makan, kamu harus bekerja keras seperti saya!
“Kata Jaka Pandelegan.
Lama kelamaan Kiai Gede Penanggungan mendengar kelakuan buruk anak dan menantunya. Jadi, ia memutuskan untuk mengunjunginya.
Ia ingin mengingatkannya tentang janjinya. Kiai Gede Penanggungan segera memanggil nama mereka ketika dia tiba di sawah.
“Jaka Pandelegan, kemarilah! Saya ingin berbicara dengan kamu.” Tapi Jaka mengabaikannya. Dia terus melakukan aktivitasnya.
“Putriku, Dewi. Ini aku, ayahmu.” Tapi Dewi juga mengabaikannya.
Kiai Gede Penanggungan benar-benar marah.
Dia kemudian berkata, “Kalian berdua seperti Candi. Kalian tidak bisa mendengarkan saya.”
Tepat setelah dia mengucapkan kata-kata itu, sesuatu yang luar biasa terjadi.
Perlahan, Jaka dan Dewi berubah menjadi Candi. Karena candi berdiri di antara